Directly we got on the bus, settling down the luggage and went ahead to the first destination, Quillan, a small village at the south of France. Atmosfer yang dapat dirasakan jika dapat kugambarkan detil cuaca, situasi, dan kondisi saat itu, bahkan sesungguhnya tertutup dengan cherish feelings yang meluap dari setiap anggota kontingen. Bahkan jika diharuskan untuk menggambarkan sketsa wajah Barcelona- Quillan saat itu, maka kata yang tepat adalah : c'est magnifique!
Bukan tentang pemandangan, namun lebih kepada perasaan. Tidak ada yang lebih mewakili sebuah suasana ketimbang perasaan dan hari itu adalah contoh kecilnya.
Detil yang tertangkap oleh sepasang kamera naturalku saat itu adalah ladang sayur nan sehat, ladang anggur, serta ladang bunga matahari nan mempesona. Ya, ibaratkan semacam Puncak, Bogor, namun ada polesan tangan Illahi yang membuatnya lebih mentereng dan eye- catching. Hijau, kuning, putih, oranye bersatu padu ibarat anyaman permadani yang terhampar begitu luas. Kelok sungai nan elok dengan rentetan batuan yang berserakan turut mewarnai sketsa Barcelona- Quillan. Tampak tenda- tenda untuk berkemah berdiri dengan cantik nan tegas di sepanjang sungai tersebut, sepertinya sedang diadakan perkemahan saat itu. Definitely, summer is a long holiday!
Sisi lain yang dapat ditangkap dari sketsa Barcelona- Quillan adalah dampak pemanasan global. Barcelona yang mataharinya dengan gagah memancarkan sinarnya, berbalik 180 derajat ketika memasuki Perancis. Summer disini lebih dominan ke arah pancaroba dari musim hujan ke musim panas di Indonesia. Rintik hujan, angin kencang kerap kali turut serta mewarnai cuaca, terutama di hari- hari berikutnya ketika berada di Quillan. Bahkan kata Michelle, pria Prancis yang senantiasa baik hati menyiapkan petit dejeuner, dejeuner, et diner selama kami di dorm, summer tahun itu adalah summer terjelek yang pernah ada sepanjang 12 tahun terakhir. Oh Mon Dieu!
Quillan merupakan kota kecil yang nyaman, indah, dan bersih, dimana tiap tahunnya selalu menjadi tujuan berlibur orang- orang di berbagai penjuru Perancis, bahkan luar negara Prancis. Terletak di pegunungan Pyrenees, seperti kota- kota lain yang telah kami kunjungi di Prancis. Berada di sebuah kota wisata di Prancis, untuk membawakan tarian dan musik tradisional Indonesia, menurutku sama seperti kita melihat pertunjukan di tempat wisata di berbagai kota tujuan liburan di Indonesia, seperti Bali, Toraja, Makassar, Medan, Aceh, Maluku, Lombok, Yogyakarta, Solo dan lainnya. Ibaratnya, kita turut memberikan nilai lebih bagi desa atau kota tujuan liburan tersebut.
Banyak hal yang didapat dari kepingan perjalanan di kota kecil ini. Yang paling disukai disini adalah kafe, bar, atau restoran yang nyaman dan kami bisa betah berlama- lama di tempat ini untuk sekadar mencari sinyal wi- fi dan juga menikmati kopi sambil berbincang sebelum malamnya kami harus tampil. Kuliner disini jika harus diperingkat, maka it's the runner- up! Especially about the cheese, chicken, and also the baguette. Roti baguette terkeras sampai terempuk bisa ditemukan disini. Seempuk- empuknya roti baguette, masih empuk tulang ayam. Trust me, it is true!
Agenda pertama dalam sketsa Quillan kali ini adalah parade dan animacion, bersama dengan kontingen Turki, Kalmoukie. Sepanjang jalanan dikosongkan, hanya terlihat samping kanan dan kiri jalan yang berisikan barisan kursi bagi penonton. Malam itu adalah malam pertama penampilan kami di luar Indonesia.
Di hari kedua, rekam sketsa kami berlanjut ke sebuah
kota sejuk bernama Tarascon. Sebuah kota yang menyenangkan. Panggung pementasan
pada hari itu berlatar belakang pegunungan, ini literally pegunungan dan kabar baiknya adalah sepanggung dengan Mexico! Mpok Ngigel, Marsitami tami, Zapin Dara, Kancet Gantar, Pendet, Gaba- gaba, Saman, Gewaya, Piring, adalah tarian yang kami bawakan. Seolah diaspora Indonesia menunjukkan eksistensinya secara nyata, kami bertemu dengan seorang perempuan muda, bahkan lebih muda dariku, keturunan Indonesia. Masih begitu belia, namun benar- benar aku tak mengingat namanya, bahkan ketika kubuka agendaku selama disana, tak dapat kutemukan namanya. Perlahan, sedikit namun pasti, dia berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia, bercerita masa kecilnya di Indonesia. It is a big pleasure to find Indonesian here. one among thousands of chance i guess it would be...
Hari ketiga, Castelnaudary memberikan kesan tersendiri bagi kami. Jika sebelumnya yang kami temukan hanyalah kafe, kini kami menemukan cinema dan theatre berukuran mini, yang secara kebetulan adalah backstage tempat kami bersiap- siap. Selain itu, kota ini sangat menyenangkan. Sudut kota yang dihiasi dengan semacam danau kecil dengan perahu- perahu, toko cinderamata yang menjual berbagai kartu pos serta ragam unik berbau Prancis, semua ada disana. Prancis, yang mencintai kebudayaannya sendiri memang terkenal dengan sistem dubbing film dari English ke Francais. Mulai dari judul, sinopsis, hingga dialog dalam film, semua diubah ke dalam bahasa Prancis! Tidak heran apabila kalian justru akan kewalahan jika menonton film disana. Begitu banyaknya teater mini disana, merupakan bukti lain kecintaan mereka terhadap budayanya. Is it exaggerating?
Rekam sketsa perjalanan selama di Perancis berlanjut ke Limoux dan Brenax. Dua kota menyenangkan dan amat kental dengan budaya. Limoux, kota yang dipenuhi dengan kafe dan restoran, bar serta bangunan apartemen khas ala Eropa yang berdiri gagah mengapit jalan sempit. Di luar jadwal festival musim panas, ternyata di Limoux ini sering terselenggaranya semacam parade topeng dan acara lain yang benar- benar membuatku ingin menyaksikanya secara langsung. Sayangnya, aku hanya dapat melihatnya dari buku panduan wisata Limoux yang tebalnya mencapai lebar kuku jari telunjukku.
Pengalaman menari disana begitu menyenangkan karena bahkan kami dijenguk oleh perwakilan konsulat jenderal Republik Indonesia di Marseille, Perancis. Soto, nasi padang, opor serta berbagai makanan khas Indonesia disediakan di dorm kami. Mendengar cerita dari salah seorang ibu konsulat yang bercerita bagaimana sulitnya mencari tampah di Perancis guna menghadirkan suasana 'Indonesia' pada makanan yang dibawanya, serta sulitnya mencari rempah- rempah khas untuk membuat soto, membuatku memberikan apresiasi yang tinggi bagi konsulat jenderal yang turut hadir saat kami pentas di Quillan.
Hingga tiba saat akhir di Festival Pyrenees kami harus melanjutkan misi, alias move on. Masih tergambar dengan jelas nyamannya dorm di Quillan, kabut pagi yang senantiasa menyelimuti kota kecil ini, Michelle yang baik hati, ibu penjual boneka barbie yang sangat pengertian, sambutan hangat penduduk Perancis atas penampilan kami serta Anais, LO kami yang sangat cekatan dan sigap.
Kota selanjutnya, adalah sebuah sketsa lain yang terlukis begitu berwarna, cerah dan menggairahkan... C'est Jaca, Spain.. (a continué)
Komentar
Posting Komentar