Sudah sejak lama ingin mem- publish artikel yang satu ini. Namun, kadang sifat manusia yang tidak dikaji Freud, alias tentang malas yang datang dengan tiba- tiba menjadi akar dari postponing pekerjaan. Kalau dibilang artikel ini penting, sesungguhnya menurutku penting, sebabnya adalah setiap detil pengalaman sekecil apapun itu, akan menjadi bekal awal untuk hal berikutnya di masa yang akan datang, don't underestimate them!
Menulis frase Misi Budaya, benar- benar membuat beberapa pemikiran keluar menyeruak dengan sendirinya. Tentang betapa bahagianya orang- orang dapat membawakan tarian, musik dan budaya Indonesia ke luar negeri, tentang bagaimana sibuknya kontingen mencari dana untuk kebutuhan finansial mereka, tentang tanggapan kawan serta keluarga yang senantiasa bangga akan sanak saudara yang bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia, tentang tanggapan miring berbagai macam orang yang menilainya sebagai kedok semata untuk jalan- jalan ke luar negeri, tentang ungkapan cabai ala paprika dengan tambahan merica tentang kegiatan ini sendiri, yang hanya melihatnya sebagai alat- alat kapitalis mendapatkan keuntungan lewat kegiatan berkedok budaya atau juga label 'TKW estetik'.
Terlepas dari berbagai respon yang ada, ulasan artikel ini sesungguhnya hanya memberikan deskripsi singkat tentang bagaimana misi budaya itu ada dan berlangsung sedemikian rupa. Sekedar memberitahukan sekelumit hal- hal yang telah dijalani dengan berbagai cerita- cerita yang tak pelak akan menjadi aneh, lucu, unik atau kadang akan membuat alis berkerut bahkan mulut ternganga dengan sendirinya.
Kalau mau dibingkai dari awal, cerita ini berawal saat menjalani misi budaya. Hentikan segala macam bayangan maupun deskripsi awal saat membaca kalimat pertama dalam alinea ini. Silakan baca saja dan nikmati caraku bercerita lewat tulisan ini. Petualangan awal dimulai saat sampai di Soekarno- Hatta International Airport. Yes, you have to know something, i have gone anywhere by plane. Mon Dieu! Phobia ketinggian adalah jawaban segalanya, dan hari itu adalah hari ter- kacrut yang pernah ada. Seolah pencipta ingin memberikan ujian kepadaku, my seat is exactly next to the window, so that i can see clearly the view outside from there. Keringat dingin dan diam seribu bahasa adalah lovely things yang dilakukan ketika hal seperti ini menimpa. Bilang saja aku katro, ndeso atau apalah label yang diberikan padaku. Tapi, terima kasih sebesar- nya untuk semesta dan pencipta yang telah mengatur sedemikian rupa, sehingga di hari itu juga, aku tau bahwa tak semenakutkan yang kukira! Dini hari adalah waktu yang tepat untuk melihat kecantikan kota Jakarta dengan gemerlap lampunya. Pusing iya, senang iya.
Setelah 16 jam berada di pesawat dan transit kurang lebih satu jam di Doha, bukanlah hal yang tidak terbayarkan ketika sampai di Bandara Barcelona. Perasaan bahagia itu cukup terwakilkan dengan nuansa panas yang menyentak di pukul 15.14 waktu Barcelona, seolah matahari menyebarkan kegembiraannya lewat pancaran sinarnya. Ya, dari sini semua rekaman perjalanan dimulai. Semangat di hari itu, bahkan sama dengan semangat di hari- hari berikutnya. Hanya beda besar kecil bara- nya jika ekuivalen dengan api..... (a continué)
Menulis frase Misi Budaya, benar- benar membuat beberapa pemikiran keluar menyeruak dengan sendirinya. Tentang betapa bahagianya orang- orang dapat membawakan tarian, musik dan budaya Indonesia ke luar negeri, tentang bagaimana sibuknya kontingen mencari dana untuk kebutuhan finansial mereka, tentang tanggapan kawan serta keluarga yang senantiasa bangga akan sanak saudara yang bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia, tentang tanggapan miring berbagai macam orang yang menilainya sebagai kedok semata untuk jalan- jalan ke luar negeri, tentang ungkapan cabai ala paprika dengan tambahan merica tentang kegiatan ini sendiri, yang hanya melihatnya sebagai alat- alat kapitalis mendapatkan keuntungan lewat kegiatan berkedok budaya atau juga label 'TKW estetik'.
Terlepas dari berbagai respon yang ada, ulasan artikel ini sesungguhnya hanya memberikan deskripsi singkat tentang bagaimana misi budaya itu ada dan berlangsung sedemikian rupa. Sekedar memberitahukan sekelumit hal- hal yang telah dijalani dengan berbagai cerita- cerita yang tak pelak akan menjadi aneh, lucu, unik atau kadang akan membuat alis berkerut bahkan mulut ternganga dengan sendirinya.
Kalau mau dibingkai dari awal, cerita ini berawal saat menjalani misi budaya. Hentikan segala macam bayangan maupun deskripsi awal saat membaca kalimat pertama dalam alinea ini. Silakan baca saja dan nikmati caraku bercerita lewat tulisan ini. Petualangan awal dimulai saat sampai di Soekarno- Hatta International Airport. Yes, you have to know something, i have gone anywhere by plane. Mon Dieu! Phobia ketinggian adalah jawaban segalanya, dan hari itu adalah hari ter- kacrut yang pernah ada. Seolah pencipta ingin memberikan ujian kepadaku, my seat is exactly next to the window, so that i can see clearly the view outside from there. Keringat dingin dan diam seribu bahasa adalah lovely things yang dilakukan ketika hal seperti ini menimpa. Bilang saja aku katro, ndeso atau apalah label yang diberikan padaku. Tapi, terima kasih sebesar- nya untuk semesta dan pencipta yang telah mengatur sedemikian rupa, sehingga di hari itu juga, aku tau bahwa tak semenakutkan yang kukira! Dini hari adalah waktu yang tepat untuk melihat kecantikan kota Jakarta dengan gemerlap lampunya. Pusing iya, senang iya.
Setelah 16 jam berada di pesawat dan transit kurang lebih satu jam di Doha, bukanlah hal yang tidak terbayarkan ketika sampai di Bandara Barcelona. Perasaan bahagia itu cukup terwakilkan dengan nuansa panas yang menyentak di pukul 15.14 waktu Barcelona, seolah matahari menyebarkan kegembiraannya lewat pancaran sinarnya. Ya, dari sini semua rekaman perjalanan dimulai. Semangat di hari itu, bahkan sama dengan semangat di hari- hari berikutnya. Hanya beda besar kecil bara- nya jika ekuivalen dengan api..... (a continué)
Komentar
Posting Komentar