Oleh: Rizki Amelia Fitriyani (*)
Babak baru permulaan kasus Nazaruddin yang menyeret nama Partai Demokrat dimulai. Nazaruddin yang merupakan Bendahara Umum Partai Demokrat, kini telah dinon- aktifkan. Tinggal menunggu waktu untuk menon- aktifkan jabatannya sebagai anggota Komisi VII DPR.
Layaknya sebagai hal yang kita temui dalam film Catch Me If You Can. Leonardo Dicaprio, pemeran utama yang ada dalam film ini begitu pintar dalam menyamar dan melarikan diri dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu negara ke negara yang lain serta memperkaya dirinya sendiri dengan cek yang dipalsukan dengan sempurna, mirip seperti aslinya. Berkaca dari kasus dari Leonardo Dicaprio ini, seperti melihat Nazaruddin yang kini pergi keluar negeri, tepatnya Singapura, setelah beberapa penyelidikan memberikan benang merah bahwa terjadi penyuapan yang dilakukan olehnya kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar sebesar 120.000 dolar Singapura pada proyek wisma atlet SEA Games di Palembang.
Sorotan utama disini adalah mengenai fungsi orang- orang dan kader- kader dalam partai politik. Sejauh mana peran- peran yang melekat pada diri masing- masing dalam sebuah partai politik. Peran- peran yang ada antara lain sebagai perwakilan yang mewakili rakyat dalam menyuarakan suara- suara rakyat, sebagai agen- agen formasi elit yang menduduki jabatan pemerintahan, tergabung menjadi orang- orang yang merumuskan tujuan- tujuan berdasarkan pada artikulasi serta agregasi kepentingan per individu yang mewakilkan diri pada oartai politik, selain itu, peran yang melekat pada individu sebagai perwujudan dari fungsi partai politik adalah sebagai agen sosialisasi dan mobilisasi serta mengorganisasi pemerintahan. Agaknya hal ini mulai tergeser dari peran- peran yang seharusnya ditunjukkan oleh perwakilan kita dalam partai politik. Bukannya menjadi pengayom masyarakat yang dapat dipercaya, amanah, serta mengartikulasi gagasan masyarakat, yang terjadi adalah sebaliknya, memperkaya diri sendiri, semau sendiri, melarikan diri ke negeri orang. Haruskah kita berterma kasih kepada negeri seberang yang telah menyediakan fasilitas kesehatan bertaraf internasional untuk sarang pelarian para koruptor kita?
Baru diperiksa, baru diklarifikasi, tiba- tiba menghilang, dengan alasan cek kesehatan. Tanpa kabar, mematikan telepon seluler, sungguh hal ironis yang tidak dapat dilogika. Sebagai anggota partai politik sekaligus komisi DPR, perilaku demikian sangat mencoreng nama baik dirinya sendiri serta mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi dimanapun ia bekerja. Padahal partai politik dalam kehidupan demokrasi di Indonesia berperan besar dalam menjadi penghubung utama agar dapat mewujudkan pemerintah yang accountable terhadap kinerja mereka (Reilly, 2008:4). Kenyataannya? Benar- benar jauh dari yang diharapkan. Bukannya semakin menunjukkan kapasitas yang memadai, semakin terbukalah berbagai hidden criminality yang dilakukan oleh wakil rakyat tersebut. Satu kata: Korupsi.
Kecenderungan kegagalan partai politik dalam menegakkan fungsi keterwakilan memang lambat laun namun pasti, menunjukkan realita nyata. Konflik internal dalam sebuah partai membuat kemelut ini semakin menjadi- jadi. Peran individu- individu yang menjadi wakil rakyat terhegemoni oleh kekuasaan lain yang bisa didapatkan semata- mata untuk kesenangan pribadinya. Tak jarang, berbagai konflik internal yang muncul dikarenakan rekrutmen dan pencalonan wakil dalam pemilihan umum masih oligarki serta tidak berdasarkan pengalamannya dalam dunia pemerintahan. Kasus Nazaruddin adalah contoh nyata dari hal ini. Berbagai godaan untuk menyenangkan kepentingan dirinya sendiri menjadi faktor yang menyebabkan konflik internal partai politiknya menjadi semakin menjadi. Contoh nyata proses rekrutmen yang tanpa mempertimbangkan track record adalah Nazaruddin yang kini seolah menjadi Leonardo Dicaprio dalam film Catch Me If You Can. Hal- hal inilah yang menyebabkan sebuah partai politik kehilangan trust dari masyarakatnya.
Berbagai masukan yang dapat diperhitungkan adalah seharusnya partai politik mulai mempertimbangkan berbagai survei tingkat lokal untuk mengetahui kompetensi dari calon wakil- wakil rakyat. Hal ini dapat dilakukan untuk lebih mengutamakan grass root methode, sehingga dapat mengantisipasi munculnya Nazaruddin ala Leonardo Dicaprio dalam Catch Me If You Can. Hal penting lain yang sangat diperlukan adalah mekanisme perekrutan wakil yang berlandaskan pada track record dari individu- individu yang ada, sehingga diharapkan bibit- bibit semacam Nazaruddin hanyalah untuk terakhir kalinya, serta dapat musnah tak berkembang lagi.
Pada akhirnya, harapan nyata untuk orang- orang seperti Nazaruddin adalah seperti Leonardo Dicaprio dalam film Catch Me If You Can yang justru malah membantu instansi kepolisian dalam menentukan keaslian cek agar kasus penipuan dapat terbongkar. Semoga saja dengan penangkapan terhadap Nazaruddin suatu hari nanti, akan membantu pemerintahan dalam menyelesaikan kasus penyuapan dan korupsi di berbagai pihak lain yang bersekongkol dengannya demi kesenangan kelompok kepentingan tertentu saja.
(*) = Mahasiswi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) 2010
Komentar
Posting Komentar