Kurasa judul itu pas.
Seperti setiap pengalaman sebelumnya.
Aku tak pernah sekalipun menolak atau menerima.
Aku hanya mengikuti ritme yang telah terjalin sedemikian rupa.
Pernah sekali duduk terdiam.
Terbuai atas perasaan berkecamuk yang muncul seperti jerawat yang tiba- tiba.
Atau seperti pasanganku yang terkadang bertapa tertiba.
Walau dalam setiap kekalutan ku mencari keterangan.
Tak pernah ada yang bisa menyembuhkan kekalutanku.
Sembari berdiri, kadang, aku, sebagai manusia yang minim kesamaan dengan kebanyakan.
Melihat setiap hal yang kualami, kujalani, kuselami, hingga batas- batas.
Semakin kesini,
Pelan.
Sakit.
Senang.
Semua beradu.
Layaknya di peperangan.
Mengerang saat perang.
Menuai senang saat menang.
Tersadar.
Semua karena ku bersama- nya.
Berteman dengan- nya.
Berbicara dengan- nya.
Teruntuk: Tari dan segala elemen- nya.
Seperti setiap pengalaman sebelumnya.
Aku tak pernah sekalipun menolak atau menerima.
Aku hanya mengikuti ritme yang telah terjalin sedemikian rupa.
Pernah sekali duduk terdiam.
Terbuai atas perasaan berkecamuk yang muncul seperti jerawat yang tiba- tiba.
Atau seperti pasanganku yang terkadang bertapa tertiba.
Walau dalam setiap kekalutan ku mencari keterangan.
Tak pernah ada yang bisa menyembuhkan kekalutanku.
Sembari berdiri, kadang, aku, sebagai manusia yang minim kesamaan dengan kebanyakan.
Melihat setiap hal yang kualami, kujalani, kuselami, hingga batas- batas.
Semakin kesini,
Pelan.
Sakit.
Senang.
Semua beradu.
Layaknya di peperangan.
Mengerang saat perang.
Menuai senang saat menang.
Tersadar.
Semua karena ku bersama- nya.
Berteman dengan- nya.
Berbicara dengan- nya.
Teruntuk: Tari dan segala elemen- nya.
Menari itu untuk membuat orang-orang senang. Orang-orang, termasuk penonton dan penarinya. Menari itu merefleksi bagaimana warga kota ini bertingkah di dalam pikiran, kata, dan perbuatan mereka. Tapi menari kadang menjadi menakutkan ya Mel? Menjadi menakutkan saat konstruksinya berbeda. Terus menari, Kimel :)
BalasHapus