Menengok
sejenak, hari kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi sebuah peristiwa yang
sungguh akan berbeda ketika dirayakan di satu tempat dengan tempat yang lain.
Tentang bagaimana detil kecil dalam persiapan upacara pengibaran bendera,
esensi dari setiap susunan acara, waktu tepat untuk berkumpul bersama sesama
orang Indonesia, yang di dalamnya terdapat berbagai balutan nilai yang hingga
kini masih berusaha untuk dibangun bukan hanya dalam bentuk kata demi kata,
namun dalam bentuk nyata untuk memperlihatkan esensi secara nyata orang- orang
yang menggaungkan semangat tersebut di dunia maya, di berbagai media hingga
seantero dunia pun tahu mengenai hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Tak
pernah terbayangkan bagaimana perjuangan dari the founding fathers untuk mewujudkan mimpi yang semula hanya
merupakan asa semata, di hari dimana mereka diasingkan ke Rengasdengklok oleh
pemuda yang menuntut untuk segera di- merdeka- kannya Indonesia kala itu.
Upacara
pengibaran bendera menjadi sebuah momentum untuk melihat dengan mata telanjang,
merasakan dengan jelas kentara, getar kemerdekaan, kebebasan yang didapatkan
dengan tak mudah kala itu. Kebebasan untuk memberikan ide, membentuk
pemerintahan, landasan peraturan dan undang- undang, rumusan Pancasila, hingga
ke detil lain tentang sebuah term “negara”.
Esensi upacara pengibaran bendera saat Hari Kemerdekaan 17 Agustus setiap
tahunnya sangatlah kental dengan berbagai persiapan. Mulai dari persiapan
fisik, mental, dan juga yang paling penting adalah merupakan sebuah momentum
untuk melihat dan memijakkan diri pada sebuah pernyataan yang sering terucap,
bahkan ketika lidah keseleo, ‘Janganlah
bertanya apa yang dapat negara berikan kepadamu, namun tanyalah pada dirimu
sendiri, apa yang dapat kamu berikan untuk negaramu’. Disanalah, jiwa muda
pun mengangkasa, mencoba mengais pernyataan yang sekiranya dapat menjadi
pernyataan balasan dari pernyataan di atas.
Sampai
pada sebuah pertanyaan, ketika tiba di hari kemerdekaan tersebut, dirimu,
ragamu, secara eksplisit dan nyata tak berada di Indonesia, kaki hingga mata
kita tak berpijak pada bumi pertiwi, apakah jiwamu akan tetap untuk Indonesia?
Merasakan begitu bergejolaknya nasionalisme ketika lagu Indonesia Raya
membahana, walau hanya di relung hatimu? Yang ketika bendera merah putih dinaikkan, secercah rasa bangga menyeruak?
Akankah akan tetap tumbuh dengan subur rasa itu, walau ketika dirimu bangun, berada
di belahan utara Eropa, sedang melakukan ekspedisi ke suku Maya, atau seketika
sedang bertanding, sedang berlomba, sebagai perwakilan dari negara lain, walau
dirimu sebelumnya berkewarganegaraan Indonesia?
Term ‘bangsa’, seketika
menjadi hal yang terasa abstrak bukan? Abstrak karena secara nyata dalam
kehidupan ini, ‘bangsa’ adalah hal yang dikonstruksikan oleh pendahulu kita,
membuat kita kini menjadi sebuah kesatuan sehingga dapat dipastikan kita dapat
dengan mudah mengidentifikasi diri kita sebagai sebuah entitas dari Republik
Indonesia.
17
Agustus 2011, adalah salah satu contoh hal yang menjadi sebuah pengalaman
tersendiri ketika menjadi pahlawan budaya Republik Indonesia, berada dalam
sebuah perayaan sederhana tentang esensi kemerdekaan Republik Indonesia.
Berbekal lagu Indonesia Raya, Bendera Merah Putih, dan baju kontingen berwarna merah,
kami, Kontingen Misi Budaya Festival Du Sud, melaksanakan upacara bendera di
halaman samping dorm tempat kami menetap, tepatnya di Alcala de La Selva,
Spanyol. Tanpa suguhan pasukan 17 dan 8 yang bertugas di istana negara, tanpa
adanya perayaan semacam aubade atau paduan suara yang menggema di lapangan, di
stasiun televisi tiap rumah kita seperti pada umumnya. Khusyuk dan khidmat
langsung terasa merasuk ke dalam diri, merasakan upacara peringatan kemerdekaan
RI secara sederhana di negeri orang dalam status menjadi pahlawan budaya. Tak
terelakkan, rindu pun datang, bukan tentang rindu formalitas upacara, namun
kerinduan memberikan penampilan seni terbaik dalam rangka mengharumkan nama
Indonesia, di kancah internasional.
|
Upacara memperingati HUT RI ke 66 di Alcala de La Selva, Spanyol |
Kini,
di tanggal yang sama, tahun 2012, hal berbeda terasa. Aku kini di rumahku, menapakkan kaki di
Indonesia dan menyaksikan secara live
melalui layar kaca, upacara pengibaran bendera di Istana Negara. Merasakan atmosfer tirakatan, melihat berbagai iklan di
televisi yang bernadakan nasionalisme dan euforia hari kemerdekaan Republik
Indonesia. Walau esensi nasionalisme tak sebegitu menyeruak seperti ketika berada
di tempat yang jauh dari negeri sendiri, perasaan cinta tanah air tetap
mengalir dengan deras, mencoba mengartikan peran diri sendiri dalam peranku sebagai
‘warga negara Republik Indonesia’.
Upacara Pengibaran Bendera 17 Agustus 2012 di Istana Negara |
Pembawa Baki Duplikat Bendera Pusaka |
Hari itu, 17 Agustus
2011 dan hari ini, 17 Agustus 2012, menjadi saksi bagi diri ini sendiri,
dimanapun aku berada, sekecil apapun suara hati dalam meneriakkan rasa sayang
tanah air, di balik semua prestasi dan segudang cerita, diri ini akan kembali
pada esensi bahwa bangsa ini punya segudang hal positif yang dapat membuat
warga- nya akan selalu menempatkan rasa cintanya pada bangsa yang sedang
bertransformasi menjadi bangsa yang lebih besar. Dirgahayu,
Indonesiaku J
Komentar
Posting Komentar